KOALISI KEPENDUDUKAN

Kamis, 04 Februari 2010

WAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN JATI DIRI GENERASI MUDA BANGSA

Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang atau pemahaman tentang konsep dan aktualisasi nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Wawasan kebangsaan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks sesuai dengan luas dan kompleksnya dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wawasan Kebangsaan diperlukan karena perlu adanya konsep dan aktualisasi manajemen kehidupan negara-bangsa yang bermartabat dan berkeadaban.
Dimensi wawasan kebangsaan yang luas dan kompleks tersebut sering dipetakan dalam dua dimensi yaitu pertama, wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik, kemudian kedua, wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi. Wawasan kebangsaan sebagai konsep geopolitik yaitu konsep tentang persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah suatu negara-bangsa. Sedangkan wawasan kebangsaan sebagai konsep geostrategi yaitu konsep tentang manajemen pembangunan nasional dalam rangka membangun Ketahanan Nasional untuk mempertahankan eksistensi kehidupan suatu negara-bangsa.
Konsep geostrategi berdimensi Astra Gatra. Astra Gatra terdiri dari dimensi trigatra alamiah dan pancagatra sosial. Trigatra Alamiah, terdiri dari : geografi, sumber kekayaan alam, dan kependudukan. Sedangkan Pancagatra Sosial, terdiri dari : idiologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Konsep wawasan kebangsaan telah dirumuskan dalam konsep Wawasan Nusantara, yang menurut Kelompok Kerja Lembaga Ketahanan Nasional 1997, dirumuskan sebagai berikut : Wawasan Nusantara atau Wawasan Nasional Indonesia adalah

”carapandang dan sikap bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945, bertolak dari pemahaman kesadaran dan keyakinan tentang diri dan lingkungannya yang bhineka dan dinamis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah yang utuh menyeluruh serta tanggungjawab terhadap lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional”.

Pernah saya ungkapkan dalam sebuah forum bahwa membicarakan wawasan kebangsaan dimulai dari terpenuhinya kebutuhan jasmani terlebih dahulu, yaitu sandang, pangan, dan papan. Atau dalam istilah Jawa disebutkan dengan 3W yaitu wareg, waras, wasis. Apabila perut kenyang (wareg), dan pikiran sehat (waras) maka akan lincah atau terampil bekerja (wasis). Secara individual harus ditekadkan bahwa sekali hidup harus sejahtera, karena Tuhan telah menyediakan segalanya untuk kita olah. Walaupun kesejahteraan sering dimaknai secara psikologis, dalam batasan persepsi masing-masing, tetapi sebagai tolok ukur ekonomi telah disepakati bahwa batasnya adalah garis kemiskinan, yang besarnya setiap orang adalah Rp 182.636, 00 per bulan versi Badan Pusat Statistik (BPS).
Negara Indonesia sebenarnya telah ada semenjak kata “Nusantara” itu sendiri mewujud. Sejarah mengenai Indonesia diawali dari kerajaan besar seperti Kutai (sekitar 2000 tahun yang lalu), kemudian Sriwijaya (1000 tahun yang lalu), dan Majapahit sekitar 500 tahun lampau. Tanggal 17 Agustus 1945 itu sendiri merupakan formalisasi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh dunia internasional. “Menjadi Indonesia” atau tepatnya menjadi orang Indonesia adalah bagian dari tujuan sosialisasi wawasan kebangsaan tersebut. Menjadi Indonesia adalah memahami Pancasila sebagai pandangan hidup bernegara, memahami makna bendera sang dwi warna: “Merah dan Putih”, Bhinneka Tunggal Ika – Tan Hanna Dharma Mangrwa, serta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”: bangunlah badannya, bangunlah jiwanya.
Pada aras terkini kesadaran berbangsa tersebut perlu ditambah dengan wawasan kita akan target Pemerintah untuk mewujudkan triple track yaitu “pro employment, pro income, pro growth”. Dalam buku “Indonesia Emas” perihal tersebut saya tambah dengan kesadaran pada tataran spiritual yaitu paham hakikat hidup –cipta, rasa, dan karsa- kemudian mempunyai prinsip 165 –ikhsan, iman, Islam- dan kepancasilaan. Tentunya dengan catatan, bagi mereka yang mengetahui dan paham. Tiada daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah, tiada debu berdebaran tanpa kehendak-Nya.
Sehingga dalam hal ini pendekatan terhadap nasionalisme kita perlu untuk lebih konkrit, tidak hanya berwacana. Kita sepakati dan kita pegang sebagai pedoman untuk melangkah. Wawasan kebangsaan dihadapkan pada globalisasi modernisasi dan sikap pragmatisme masyarakat. Sikap pragmatisme dalam hal ini adalah pengutamaan esensi pemenuhan kebutuhan ekonomi terlebih dulu, baru kemudian berbicara pada tahapan yang lebih lanjut: kelompok masyarakat, kabupaten, provinsi, dan Negara.
Dalam bingkai logika modernisasi, Indonesia senantiasa dibayangkan sebagai negara yang sedang mengalami proses perkembangan. Indonesia sedang berada pada proses menuju kemajuan dan karenanya seluruh infrastruktur yang menopangnya –baik ekonomi, sosial, politik, maupun budaya- harus diarahkan ke sana. Modernisasi pertama bertumpu pada upaya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Pembangunan ekonomi dapat berjalan efektif jika ditopang dengan stabilitas politik dan keamanan nasional, dan tugas Negara adalah menjaga stabilitas tersebut. Kita mengenal Trilogi pembangunan (stabilitas, pemerataan, dan pertumbuhan) kemudian delapan jalur pemerataan di era Orde Baru, dan triple track strategy pada era sekarang. Dengan pemahaman yang lebih komprehensif (memahami nasionalisme dan kaitannya pragmatisme masyarakat) maka wawasan kebangsaan akan menemukan sisi riilnya: menjembatani antara nasionalisme dan pragmatisme.
Strategi adalah perencanaan mendalam dalam mencapai tujuan. Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Pembangunan dapat diartikan sebagai rangkaian proses perubahan struktural yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Pembangunan karakter atau jati diri bangsa diharapkan akan membawa bangsa ini semakin mengemuka di era global. Menjadi “Indonesia Emas” atau Indonesia yang bangkit adalah tujuan pengembangan karakter bangsa ini.
Terdapat semacam adagium yang menyatakan bahwa, “Demokrasi berasal dari Barat sedangkan kemajemukan berasal dari Asia”. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, yang masih dalam tahap belajar untuk berdemokrasi. Sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis terbesar ketiga sesudah India dan Amerika Serikat. Ajang Pemilihan Umum 2009 kemarin merupakan hasil keberhasilan dari ujian kesekiankalinya terhadap wawasan kebangsaan yang kita miliki. Alhamdulillah kesuksesan Pemilu 2009 mengulang keberhasilan pesta demokrasi setelah Pemilu tahun 1955, 1999, dan 2004.
Predikat selanjutnya adalah Indonesia merupakan percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis. Suasana toleransi dan saling menghargai antar umat beragama sangat tinggi. Dapat dikatakan bahwa 90 persen dari jumlah penduduk Indonesia –yang totalnya sebanyak 230,6 juta jiwa- adalah muslim. Jumlah penduduk yang besar dapat merupakan potensi, sekaligus hambatan. Apabila penduduknya berkualitas semua maka bangsa tersebut jaya. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan adalah lahan /atau tanah tidak bertambah, sementara pertumbuhan penduduk Indonesia cukup tinggi –yaitu mencapai 2,6 juta jiwa pertahun. Dengan pertumbuhan sebesar 2,6 juta jiwa (1,2 persen per tahun) maka diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 adalah 261 juta jiwa.
Indonesia bakal mengalami ledakan penduduk hingga 255 juta jiwa pada tahun 2015 bila kondisi pertumbuhan penduduk terus bertahan seperti saat ini. Saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 230,6 juta jiwa, sedangkan jatah pangan orang Indonesia per kepala hanya 513 m3. Negara seperti Muangthai dan Vietman memiliki jatah pangan sebesar 1.000 m3 per kepala. Data statistik menunjukkan bahwa saat ini tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 1,48 persen, dan tingkat kelahiran sebesar 2,6. Setiap tahun terdapat 4,2 juta kelahiran baru dan terjadi penambahan penduduk baru sebanyak 3,2 juta jiwa. Kita harus menyadari hal tersebut, untuk itu perlu dipesankan kepada generasi muda agar merencanakan keluarga yang sakinah ketika akan menikah.
Jatidiri atau karakter bangsa selayaknya untuk bersumber pada nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki. Para founding fathers telah mewariskan Pancasila, UUD 1945 (terutama bagian Mukadimah), lagu “Indonesia Raya”, dan bendera sang Dwi Warna: Merah Putih. Pancasila adalah bukti kesetiakawanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama, kepada bangsa-negara, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 mengandung muatan terhadap tujuan berdirinya NKRI. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” merupakan penegasan akan pentingnya pembangunan manusia (syair “bangunlah jiwanya bangunlah badannya”). Sedangkan bendera sang merah-putih, menyiratkan perlunya kita mengormati sang Pencipta, sarana penciptaan (ibu-bapak), dan proses (merah darah ibu, putih darah bapak). Namun makna “kembali” pada simbol-simbol kenegaraan bukan berarti sebuah pemahaman yang sempit akan keakuan, ataupun keindonesiaan, tetapi juga melihat dinamika dunia luar (global) yang sesuai amanat dalam Pembukaan UUD 45 yaitu “ikut menjaga ketertiban dunia”.
Dunia global tengah berupaya menemukan titik normal setelah krisis 2008/ 2009 ini. Krisis ekonomi global membuat upaya pengurangan jumlah orang miskin di Indonesia tertahan. Jumlah orang miskin pada tahun 2009 –versi Bappenas- diperkirakan melonjak ke angka 33,714 juta orang, lebih tinggi dari target yang diinginkan pemerintah pada level 32,38 juta orang. Jumlah 33,714 juta orang miskin itu setara dengan 14,87 persen jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya, tingkat kemiskinan pun meningkat dari rencana semula yang ditetapkan dalam APBN 2009, yakni 14 persen dari jumlah penduduk. Sehingga selain memperkuat fondasi dalam negeri, kita harus ikut memperbaiki tatanan dunia yang masih carut marut saat ini.

*****

APA yang dialami Pemerintah, wa bil khusus yang kami alami di Departemen Sosial merupakan upaya untuk mengakomodasi tuntutan internal dan eksternal yang muncul. Pemerintah memang harus responsif tterhadap tuntutan rakyat. Permasalahan eksternal adalah harapan masyarakat terhadap pelayanan dari pemerintah/ Departemen Sosial yang lebih baik. Internal adalah upaya kelembagaan dari Departemen Sosial untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan umum.
Kesejahteraan umum itulah yang disebut oleh para Bapak pendiri bangsa dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 bahwa Negara mempunyai salah satu tugas untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Pencapaian kesejahteraan umum merupakan tujuan penanggulangan kemiskinan sehingga dengan demikian sudah selayaknya menjadi prioritas pembangunan. Dari alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 termaktub bahwa tujuan bernegara adalah untuk melindungi warga negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Derivasi atau turunan dari upaya perwujudan rakyat tersebut adalah pembangunan kesejahteraan sosial. Saat ini tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak menerapkan strategi pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial adalah bagian dari kebijakan sosial yang penting di negara-negara modern dan demokratis. Kita menyaksikan bahwa semakin maju dan demokratis suatu negara, semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya pelayanan sosial. Sebaliknya, di negara-negara miskin dan otoriter pelayanan sosial kurang mendapat perhatian. Alhamdulillah bahwa pada awal tahun ini telah disyahkan UU no 11 tahun 2009 tentang Kesejahtaeraan Sosial, serta UU no 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang semoga semakin membuktikan perhatian kita akan pembangunan kesos, yaitu “bangunlah jiwanya bangunlah badannya”.
Dari buku David Osborne dan Ted Gaebler (1992) dalam ”Reinveinting Government” dinyatakan bahwa berbagai masalah publik bisa diatasi oleh karena semangat entrepreneurial para birokrat (khususnya di tingkat lokal) berhasil mengembangkan inisiatif dan kreativitas warganya. Hal ini diulas oleh Menteri Sosial pada bulan Februari 2006 di depan stakeholders Depsos tentang semangat reinventing. Apabila kita tarik lebih jauh lagi, semangat kewirausahaan juga harus menjalar ke kalangan birokrasi. Menteri Sosial menelurkan konsep Reinventing Pembangunan Kesejahteraan Sosial yang terdiri dari 5 (lima) langkah, yaitu Reorientasi, Restrukturisasi, Aliansi, Implementasi, Monitoring-Evaluasi.
Reorientasi berarti memfokuskan tujuan semula dalam rangka pembangunan kesejahteraan sosial, bahwa tidak hanya berbekal charity tetapi empowerment, dari belas kasihan ke kasih sayang. Restrukturisasi artinya mentapkan struktur organisasi yang mendukung upaya pemberdayaan. Aliansi adalah memperkuat jaringan untuk mendukung usaha, baik aliansi ke dalam maupun ke luar. Artinya kita optimalkan semua potensi dalam penanggulangan kemiskinan. Implementasi adalah upaya kami untuk merealisasikan visi dan misi Departemen Sosial, yaitu: Kesejahteraan Sosial Oleh dan Untuk Semua. Sedangkan Monitoring-Evaluasi merupakan upaya kami untuk mengkaji indikator keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial –setiap upaya pembangunan harus dikaji indikator keberhasilannya. Demikian artikel kami, akhirnya saya ucapkan selamat mengadakan acara pelatihan, semoga sukses, amien.


Prof. Gunawan Sumodiningrat, M.Ec., Ph. D., adalah Guru Besar Ekonomi di Universitas Gadjah Mada. Sejak tanggal 11 Maret 2009 menjadi Staf Ahli Menteri bidang Dampak Sosial di Departemen Sosial RI. Makalah di atas disampaikan pada acara Lokakarya bagi pimpinan organisasi berbasis generasi muda yang diselenggarakan oleh Koalisi Kependudukan dengan tema “Pengembangan Generasi Muda dengan Menanamkan Kesadaran dan Melakukan Konservasi Kehidupan di Bumi” bertempat di hotel Kartika Chandra, Jakarta, pada hari Kamis tanggal 15 Oktober 2009

1 komentar: